Menjaga Kelestarian Hutan dan Lingkungan Hidup
“Tidak ada Hutan, Tidak ada Air, Tidak ada Kehidupan”
Hutan adalah sahabat kita dan kecintaan terhadap sahabat kita yang
satu ini perlu untuk kita hidupkan kembali dan kita benahi lebih serius
karena sebenarnya kita adalah orang yang berhutang kepada hutan karena
tanpa pamrih hutan-hutan kita telah memberikan oksigen, menjaga sumber
air, menunjang kebutuhan kertas kita dan mencegah terjadinya bencana
alam.
Kita telah lama mengenal istilah-istilah yang menggambarkan kearifan
lokal tiap-tiap daerah terkait lingkungan hidup salah satunya yang
berasal dari daerah Jawa Barat yang saya jadikan bagian dari judul
diatas ”Hutan ruksak, cai saat, manusa balangsak” dan saya meyakini banyak kearifan lokal (local wisdom) lainnya di tiap daerah di Indonesia. Local Wisdom yang ada menunjukkan bahwa generasi sebelum kita merupakan generasi yang telah memikirkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
yang mencerminkan kepedulian mereka terhadap lingkungan dan kepedulian
mereka terhadap generasi setelah mereka. Lalu bagaimana dengan generasi
kita hari ini?
Hal yang mencengangkan ialah kondisi hutan kita hari ini, Hutan kita
selama era reformasi justru rusak lebih parah dari era orde baru. Data
dari satelit, Tahun 1998 kerusakan hutan kita 28 juta Ha , saat ini
sudah ada 58 juta Ha lahan hutan yang rusak, berarti sudah 31 juta Ha
lahan hutan yang rusak dalam kurun waktu 10 tahun. Berdasarkan data dari
Walhi dari tahun 2000-2005 tercatat hutan Indonesia telah hilang seluas
5,4 juta hektar, selain itu Indonesia mengalami kerugian materil akibat
bencana alam sebesar Rp. 36,943 triliun (kerugian langsung) dan Rp.
144,07 triliun (kerugian tak langsung)”.
Liberalisasi di Sektor Kehutanan
Tak hanya sektor Pendidikan yang ramai saat ini dibicarakan terkait
liberalisasi, namun sektor kehutanan pun mengalami proses liberalisasi
akibat kerjasama pemerintah dengan Bank Dunia yang berimbas pada
dikeluarkannya PP No. 2 Tahun 2008 dan PP No. 3 Tahun 2008, terdapat dua
dokumen yang dikeluarkan oleh Bank Dunia berjudul: “Sustaining
Indonesia’s Forests: Strategy for the World Bank 2006-2009” dan
“Sustaining Economic Growth, Rural Livelihoods, and Environmental
Benefits: Strategic Options for Forest Assistance in Indonesia?” selain
itu Bank Dunia juga mendirikan IBRA (Indonesia Bank Restructuring
Agency/Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dimana melalui IBRA ini
ratusan miliar US$ utang-utang industri kehutanan, termasuk utang
industri bubur kertas dan HTI pulp dialihkan menjadi utang negara dan
menjadi beban rakyat Indonesia (Walhi)
Padahal hutan seperti kita ketahui merupakan hajat hidup orang banyak
yang menyangkut kepentingan kelangsungan hidup kita, sehingga hal yang
patut kita perjuangkan ialah meninjau kembali kebijakan liberalisasi
sektor kehutanan diatas dalam rangka mencegah hutan-hutan kita semakin
gundul tak terkendali serta mengambalikan hak-hak masyarakat untuk
memanfaatkan hasil hutan dengan kreatif, tidak terbelit monopoli yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar kehutanan saat ini.
Mencegah dan Menindak Tegas pelaku perusak lingkungan
Kasus korupsi pengalihan fungsi hutan lindung seluas 7.300 hektar di
Kabupaten Bintan yang melibatkan anggota komisi IV DPR, merupakan contoh
tidak bertanggungjawabnya pemimpin saat ini terhadap kondisi hutan,
selain itu penindakan yang tegas terhadap pelaku pembalakan liarpun
masih terkendala oleh hal yang sifatnya pragmatis yaitu uang, sehingga
agenda utama yang perlu ditegakkan ialah seperangkat sistem dan aturan
yang tegas untuk menindak perusak lingkungan ini, selain itu dengan
memanfaatkan kerjasama yang lebih intensif dalam rangka clean development mechanism
(pembangunan bersih) dimana negara berkembang diberi insentif dari
pengurangan karbon, maka seharusnya dana untuk pengkaderan polisi hutan
yang berdedikasi dan dilengkapi peralaan canggih bukanlah hal yang tidak
mungkin.
Melestarikan Hutan Kita
Luas hutan Indonesia terus menciut, sebagaimana diperlihatkan oleh
tabel berikut: Luas Penetapan Kawasan Hutan oleh Departemen Kehutanan
Tahun Luas (Hektar) pada tahun 1950 sebesar 162,0 juta; tahun 1992
sebesar 118,7 juta, tahun 2003 sebesar 110,0 juta dan tahun 2005
sebesar 93,92 juta.
kita harusnya berkomimen untuk melakukan penghijauan kembali 59 juta
Ha hutan yang rusak serta konservasi aneka ragam hayati dan hutan
lindung yang ada. Pengembangan kawasan hutan yang tidak boleh kita
lupakan ialah perbaikan terhadap hutan bakau kita (mangrove), dimana
saat ini kondisi mangrove kita telah rusak, bayangkan saja saat tsunami
di Aceh terjadi dimana tinggi gelombang mencapai 40 meter, jika disana
terdapat hutan mangrove yang rapat dimana ketinggian hutan bisa mencapai
40 meter maka laju gelombang dapat tertahan, selain itu pengembangan
hutan mangrove dapat meningkatkan perolehan ikan nelayan karena hutan
bakau dijadikan sebagai tempat ikan bertelur.
Strategi yang kita usahakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan
dari masyarakat, untuk mendukung proses penghijauan maka elemen
masyarakat kehutanan yang perlu untuk kita tingkatkan, dimana pola-pola
pertanian dengan pembakaran lahan perlu untuk kita hindari melalui
edukasi dan pengelolaan lahan terpadu.
Selain itu motif ekonomi yang mendorong masyarakat merusak hutan bisa
kita alihkan dengan melakukan manajemen wisata hutan yang baik, dimana
masyarakat kita libatkan dalam mendorong terwujudnya wisata kehutanan,
selain meningkatkan pendapatan, tentunya menumbuhkan kecintaan
masyarakat Indonesia khusunya dan dunia pada umumnya terhadap hutan
Indonesia. Hutan hujan tropis yang bagi saya terbaik di dunia.
Strategi kebijakan yang tepat, penegakkan hukum yang baik dan
keterlibatan masyarakat menjadi agenda utama kita semua dalam
melestarikan hutan kita. Saatnya kita lebih serius menjaga titipan dari
anak cucu-kita ini sehingga anak cucu kita masih bisa bernafas dengan
udara segar dari hutan tropis Indonesia.
Salam indonesia Raya
Pernah di muat di situs perubahanuntukrakyat.com dengan perubahan